Posted by Ezreal • 03-10-2015 21:07
Jam Tua yang menolak waktu
Orang bilang, jam yang rusak akan tetap menunÂjukkan kebenaran, minimal dua kali dalam sehari. Namun hal itu tidak berÂlaku pada jam tua di rumahku. Kedua jarumÂnya berÂhenti di angka dua belas. Anehnya, setiap kali pukul dua belas tiba, jarum panÂjang jam itu akan munÂdur satu menit, lalu kemÂbali lagi ke temÂpat semula satu menit kemudian. Seolah-olah jam itu selalu menolak untuk menÂjadi benar.
Sejak diwariskan oleh almarÂhum kakekku dua tahun yang lalu, jam itu menÂjadi bangÂkai yang berÂdiri menÂjulang di pojok kamar, mengÂawasi ketika kami tidur samÂbil memÂbuat semÂpit ruangan dengan badanÂnya yang besar dan hitam. Istriku sering kali terÂbangun pada tengah malam karena merasa akan ditimpa oleh benda itu, kemudian penyakit asmanya akan kamÂbuh dan aku harus mengÂamÂbilkan inhaler dari dalam laci.
Sudah lama aku ingin menÂjual jam itu, tapi tak ada yang mengÂangÂgap benda itu cukup berÂharga untuk ditukar dengan uang. Suatu hari, aku menÂcoba mengutak-atiknya senÂdiri. Aku bukan ahli reparasi jam antik, tapi berÂdasarkan inforÂmasi yang kudapatkan dari interÂnet, aku tahu bahwa jam itu seharusÂnya tak bisa berÂgerak lagi karena ranÂtai pemÂberat di dalamÂnya sudah tak perÂnah ditarik. Entah kekuatan apa yang memÂbuatÂnya selalu berÂgerak setiap pukul dua belas. Merasa geram, kupaku jarum panÂjang jam itu di angka dua belas, memakÂsanya untuk menÂjadi benar.
Malamnya, ketika hamÂpir pukul 12 tepat, kulihat jarum panÂjang jam itu menÂcoba memÂberonÂtak. Ia berÂusaha munÂdur dan maju satu menit, tapi terÂtahan oleh paku yang kupasang. Aku terÂtawa melihatÂnya, sekarang ia tak bisa lari lagi dari kebenaran. Setelah puas “memÂbalas denÂdam†pada jam tua itu, aku pun naik ke temÂpat tidur samÂbil berÂenÂcana memÂbuang benda rongÂsokan itu besok pagi.
Rasanya aku sudah tidur lama sekali, tapi ketika terÂbangun, kamar masih gelap. Istriku masih tidur dan tidak ada sinar matahari yang menerobos tirai jenÂdela. Kuperiksa jam di ponÂsel, dan betapa terÂkejutÂnya aku karena angka digital itu masih menunÂjukkan pukul 00.00. Aku menunggu dalam waktu yang kupikir sudah hamÂpir lima menit, tapi jam di ponÂsel tetap sama, tetap pukul nol-nol-nol-nol.
Aku berÂgeming di atas temÂpat tidurku dalam waktu yang sangat lama, yang tak ingin kuhitung sama sekali. Istriku tak perÂnah bangun; matahari tak perÂnah terÂbit. Bahkan tanpa perlu memerikÂsanya terÂlebih dahulu, aku tahu bahwa jam tanganku, jam dinÂding di ruang tamu, jam besar di alun-alun kota, dan semua jam di dunia ini telah berÂhenti berÂputar. Jam tua itu tak perÂnah tunÂduk menÂjadi pengikut, ia memiliki wakÂtunya sendiri.